ANALISA HUKUM PMH DAN WANPRESTASI

Sebelum menganalisa baiknya kita fahami apa yang dimaksud dengan PMH dan wanprestasi, berikut ini penjelasannya :

Wanprestasi adalah pelaksanaan kewajiban yang tidak dipenuhi atau ingkar janji atau kelalaian yang dilakukan oleh debitur baik karena tidak melaksanakan apa yang telah diperjanjikan maupun malah melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

Istilah wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yaitu “wanprestatie” yang artinya tidak dipenuhinya prestasi atau kewajiban yang telah ditetapkan terhadap pihak-pihak tertentu di dalam suatu perikatan, baik perikatan yang dilahirkan dari suatu perjanjian ataupun perikatan yang timbul karena undang-undang.

Wanprestasi memberikan akibat hukum terhadap pihak yang melakukannya dan membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk memberikan ganti rugi, sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan karena wanprestasi tersebut.

Akibat Hukum Wanprestasi

Akibat hukum atau sanksi yang diberikan kepada debitur karena melakukan wanprestasi adalah sebagai berikut:

a. Kewajiban membayar ganti rugi

Ganti rugi adalah membayar segala kerugian karena musnahnya atau rusaknya barang-barang milik kreditur akibat kelalaian debitur. Untuk menuntut ganti rugi harus ada penagihan atau (somasi) terlebih dahulu, kecuali dalam peristiwa-peristiwa tertentu yang tidak memerlukan adanya teguran.

Ketentuan tentang ganti rugi diatur dalam pasal 1246 KUHPerdata, yang terdiri dari tiga macam, yaitu: biaya, rugi dan bunga. Biaya adalah segala pengeluaran atas pengongkosan yang nyata-nyata telah dikeluarkan oleh kreditur sedangkan bunga adalah segala kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau yang sudah diperhitungkan sebelumnya.

Ganti rugi itu harus dihitung berdasarkan nilai uang dan harus berbentuk uang. Jadi ganti rugi yang ditimbulkan adanya wanprestasi itu hanya boleh diperhitungkan berdasar sejumlah uang. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya kesulitan dalam penilaian jika harus diganti dengan cara lain.

b. Pembatalan perjanjian

Sebagai sangsi yang kedua akibat kelalaian seorang debitur yaitu berupa pembatalan perjanjian. Sangsi atau hukuman ini apabila seseorang tidak dapat melihat sifat pembatalannya tersebut sebagai suatu hukuman dianggap debitur malahan merasa puas atas segala pembatalan tersebut karena ia merasa dibebaskan dari segala kewajiban untuk melakukan prestasi.

Menurut KUHPerdata pasal 1266: Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan yang bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal yang demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim. Permintaan ini juga harus dilakukan meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan dalam perjanjian. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan hakim adalah leluasa untuk menurut keadaan, atas permintaan si tergugat, memberikan suatu jangka waktu untuk masih juga memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana namun tidak boleh lebih dari satu bulan.

c. Peralihan risiko

Akibat wanprestasi yang berupa peralihan risiko ini berlaku pada perjanjian yang objeknya suatu barang, seperti pada perjanjian pembiayaan leasing. Dalam hal ini seperti yang terdapat pada pasal 1237 KUHPerdata ayat 2 yang menyatakan‚ Jika si berutang lalai akan menyerahkannya, maka semenjak saat kelalaiannya kebendaan adalah atas tanggungannya.

PMH adalah Dalam hukum perdata, perbuatan melawan hukum adalah segala perbuatan yang menimbulkan kerugian yang membuat korbannya dapat melakukan tuntutan terhadap orang yang melakukan perbuatan tersebut. Kerugian yang ditimbulkan dapat bersifat material ataupun imaterial.

PMH bisa terjadi di ranah hukum pidana, maupun hukum perdata. Dalam tulisan ini yang dimaksud PMH adalah yang dalam ranah hukum perdata.

Menurut Munir Fuady (Fuady : 2002, hal. 3) Perbuatan Melawan Hukum adalah sebagai suatu kumpulan dari prinsip-prinsip hukum yang bertujuan untuk mengontrol atau mengatur perilaku bahaya, untuk memberikan tanggung jawab atas suatu kerugian yang terbit dari interaksi sosial, dan untuk menyediakan ganti rugi terhadap korban dengan suatu gugatan yang tepat.

PMH diatur dalam Pasal 1365 KUHPer, berbunyi “Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut ”.

Perbedaan Wanprestasi dan PMH

Untuk memudahkan dalam melihat perbedaan wanprestasi dan PMH bisa dilihat dalam tabel ini (Ikatan Hakim Indonesia : 2016, hal. 33.) :

Ditinjau dari

Wanprestasi

PMH

Sumber hukum
  • Pasal 1238, 1239, 1243 KUHPerdata
  • Timbul dari Persetujuan/perjanjian
  • Pasal 1365 sd 1380 KUHPer.
  • Timbul akibat perbuatan orang
Unsur-unsurnya
  • Ada perjanjian oleh para pihak;
  • Ada pihak melanggar atau tidak melaksakan isi perjanjian yang sudah disepakati;
  • Sudah dinyatakan lalai tapi tetap juga tidak mau melaksanakan isi perjanjian.
  • Adanya suatu perbuatan;
  • Perbuatan tersebut melawan hukum;
  • Adanya kesalahan pihak pelaku;
  • Adanya kerugian bagi korban;
  • Adanya hubungan kausal antara     perbuatan dan kerugian.
Timbulnya hak menuntut Hak menuntut ganti rugi dalam wanprestasi muncul dari Pasal 1243 KUHper, yang pada prinsipnya membutuhkan pernyataan lalai (somasi) Hak menuntut ganti rugi dalam PMH tidak perlu peringatan lalai. Kapan saja terjadi PMH, pihak yang merasa dirugikan berhak langsung menuntut ganti rugi.
Pembuktian dalam gugatan Penggugat cukup menunjukan adanya wanprestasi atau adanya perjanjian yang dilanggar Penggugat harus mampu membuktikan semua unsur PMH terpenuhi selain itu mampu membuktikan adanya kesalahan yang dibuat debitur.
Tuntutan ganti rugi
  • KUHper sudah mengatur tentang jangka waktu perhitungan ganti rugi yang dapat dituntut, serta jenis dan jumlah ganti rugi yang dapat dituntut dalam wanprestasi.
  • Gugatan wanprestasi tidak dapat menuntut pengembalian pada keadaan semula (restitutio in integrum)
  • KUHPer tidak mengatur bagaimana bentuk dan rincian ganti rugi. Sehingga dapat menggugat kerugian materil dan imateril.
  • Dapat menuntut pengembalian pada keadaan semula

 

Contoh kasus PMH (Perbuatan melawan hukum)

Tuan Ahmad bertempat tinggal di Jin Bekasi No.10 Bekasi, memiliki tanah seluas 2000 M2 yang terletak di Jin. Kusuma Bangsa No.7 Kec. Tambun Bekasi dengan bukti kepemilikan berupa Sertfikat Hak Milik No. 0234/Tambun.  Pada tanggal 27 Agustus 2010 tanah milik Tuan Ahmad tersebut disewa oleh Tuan Amir Mahmud, selaku Direktur Utama PT. Cakrawala yang beralamat di Jin Antara No.17 Jakarta Pusat untuk gudang penyimpanan barang-barang milik PT. Cakrawala untuk jangka waktu selama 10 tahun dengan uang sebesar Rp.10.000.000 (sepuluh juta rupiah) setiap tahunnya dengan cara pembayaran uang sewa setiap tanggal 27 Agustus.  Pada tanggal 27 Agustus 2010 saat Penandatanganan Perjanjian Sewa Menyewa Tanah antara PT. Cakrawala dengan Tuan Ahmad, telah dibayar uang sewa oleh PT. Cakrawala sebesar Rp.10.000,000,(sepuluh juta rupiah) untuk sewa tahun pertama.  Ketika masa sewa sedang berjalan pada tanggal 1 Januari 2014 Tuan Ahrnad telah menjual tanah tersebut kepada PT. Alexindo yang diwakili oleh Tuan Hendrik Purnomo Selaku Direktur Utama yang beralamat di Jin. Proklamasi No.17 Bekasi sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).  Ketika Tuan Amir Mahmud pada tanggal 17 Agustus 2014 akan membayar uang sewa tahun berjalan, ditolak oleh Tuan Ahmad dengan alasan tanah tersebut telah dijual kepada PT. Alexindo, akhirnya Tuan Amir Mahmud menemui Tuan Hendrik Pumomo selaku Direktur PT. Alexindo untuk membayar uang sewa, juga DITOLAK dan bahkan Tuan Hendrik Purnomo memberikan surat kepada PT. Cakrawala yang berisi Permintaan agar dalam waktu 1 bulan yaitu paling lambat 17 September 2014 harus sudah mengosongkan tanah tersebut.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *