Arbitrase merupakan salah satu cara penyelesaian konflik atau sengketa perdata yang dilakukan di luar peradilan. Penyelesaian konflik melalui metode arbitrase diatur oleh pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Apabila ingin menyelesaikan masalah dengan cara arbitrase, kedua belah pihak yang bersengketa sebelumnya harus sepakat. Mereka juga diharuskan menunjuk satu pihak penengah yang disebut dengan arbiter. Selanjutnya, mereka wajib membuat perjanjian tertulis atas hasil dari perundingan mereka.
Perjanjian tertulis hasil arbitrase disebut juga dengan klausul arbitrase. Perjanjian tertulis tersebut merupakan hasil yang bersifat mengikat antara kedua belah pihak yang bersengketa.
Penyelesaian Hubungan Industrial (PHI)
Hubungan Industrial adalah suatu sistem atau jasa yang terdiri dari unsur Pengusaha, unsur Karyawan dan Pemerintah yang didasarkan atas nilai-nilai Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 Negara Kesatuan Republik Indonesia, (pasal 1 ayat 22 UU Ketenagakerjaan). Pelaksanaan Hubungan Industrial tersebut diatur dalam bentuk ketentuan, baik ketentuan Normatif maupun ketentuan perundangan yang berlaku.
Ketentuan Normatif adalah segala ketentuan yang mengatur mengenai hak dan kewajiban yang timbul akibat adanya Hubungan Industrial yang telah disepakati oleh Karyawan dan Pengusaha. Ketentuan Normatif tersebut tidak boleh kurang dari standar minimal yang diatur dalam ketentuan Ketenagakerjaan yang berlakumisalnya; ketentuan perihal upah minimal propinsi (UMP), tunjangan lembur, tunjangan kesehatan dan lain-lain.
Perselisihan Hubungan Industrial, yaitu suatu kondisi dimana terdapatnya perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan kepentingan antara Pengusaha dengan Karyawan karena adanya perselisihan mengenai hak, kepentingan, Pemutusan Hubungan Kerja (“PHK”) atau perjanjian kerjasama.
Perselisihan Hubungan Industrial
Penanganan Perselisihan Hubungan Industrial yang terjadi di Perusahaan memerlukan penanganan yang tepat dan hati-hati. Langkah utama yang wajib dilakukan dalam penanganan timbulnya Perselisihan Hubungan Industrial adalah melakukan klarifikasi permasalahan guna mengetahui duduk perkara yang sebenarnya untuk meminimalkan resiko Ketenagakerjaan yang berlarut-larut yang merugikan baik Perusahaan maupun Karyawan yang bersangkutan.
Hal yang perlu diperhatikan oleh Perusahaan sebelum memutuskan untuk melakukan tindakan penyelesaian adalah dengan melakukan klarifikasi terhadap alasan dan faktor penyebab terjadinya Perselisihan. Langkah klarifikasi ini sangat penting dilakukan untuk menghindari dampak Penyelesaian yang dapat merugikan perusahaan baik kerugian secara finansial (financial risk) maupun kerugian atas nama baik perusahaan (name risk).
Langkah tersebut di atas sangat perlu diperhatikan terutama terhadap perselisihan Hubungan Industrial yang berakhir dengan langkah PHK oleh perusahaan.
Dalam ketentuan pasal 153 UU Ketenagakerjaan, juga diatur bahwa setiap terjadinya perselisihan Hubungan Industrial yang disebabkan oleh jenis atau kondisi tertentu, Perusahaan dilarang melakukan tindakan PHK.
Jenis perselisihan yang disebabkan oleh kondisi tertentu yang dimaksud dalam peraturan tersebut adalah:
- Karyawan berhalangan masuk dikarenakan sakit yang berkepanjangan akan tetapi tidak lebih dari 12 bulan;
- Karyawan berhalangan masuk karena menjalankan kewajiban terhadap Negara sesuai ketentuan yang berlaku;
- Karyawan menjalankan ibadah yang diperintahkan oleh Agama;
- Karyawan menikah;
- Karyawan (wanita) hamil, melahirkan, gugur kandungan atau menyusui bayinya;
- Karyawan mendirikan atau melakukan kegiatan Serikat Pekerja atau sejenis dalam jam kerja sesuai yang diatur dalam Kesepakatan Pengusaha dan Serikat Pekerja;
- Karyawan mengadukan Pengusaha kepada yang berwajib karena tindakan Pidana yang dilakukan Pengusaha;
- Karena perbedaan paham agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi pisik dan karena status perkawinan;
- Karyawan menderita sakit yang disebabkan oleh kecelakaan kerja dan waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan oleh Dokter;
Apabila Pengusaha tetap melakukan PHK berdasarkan kondisi tersebut di atas, maka PHK akan batal demi hukum dan Pengusaha wajib mempekerjakan Karyawan tersebut dengan posisi semula.